Malang, Jalaludin Rumi. Di tengah kesibukan untuk mengisi pengajian di berbagai kota, di luar pulau, bahkan di luar negeri, Kiai Marzuki Mustamar selalu menyempatkan mbalang kitab untuk santri-santrinya secara istiqomah tiap harinya. Tepat bada Maghrib, Ahad (25/9) lalu adalah jadual santri-santrinya untuk mengaji Kitab Ibnu Aqil. Nadhom Alfiyah pun menggema di Masjid Nur Ahmad Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang.
Di tengah penjelasannya terkait bait-bait alfiyah, Abah, panggilan akrab para santri untuk kiai kelahiran Blitar ini berhenti sejenak dan kemudian bercerita. Ceritanya sangat sederhana, tapi mungkin bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua. Tatkala Kiai Marzuki ada jadwal ngisi pengajian di daerah Pacet, kiai yang juga Syuriyah PWNU Jawa Timur ini berhenti sebentar untuk memberi makan monyet-monyet di pinggir jalan. Ada banyak monyet yang berebut untuk mendapatkan makanan.
KH Marzuki Mustamar Umpamakan Orang Serakah dengan Bedes (Sumber Gambar : Nu Online) |
KH Marzuki Mustamar Umpamakan Orang Serakah dengan Bedes
Kemudian, tiba-tiba datang monyet yang paling besar, mungkin bisa dibilang raja monyetnya lah, terang Abah, saat diberikan makanan itu, si raja monyet ini menghalang-halangi monyet-monyet kecil lainnya untuk mendapatkan makanan, padahal si monyet besar tadi di mulutnya sudah mengunyah banyak makanan.Jalaludin Rumi
Bukan hanya itu, di tangan kanan-kirinya juga sudah memegang makanan. Melihat hal tersebut, akhirnya kiai 50 tahun ini mencoba memancing dengan memberikan makanan untuk kesekian kalinya, pikirnya, tidak mungkin lah si raja monyet ini mengambil makanan lagi, kan di tangan kanan-kirinya sudah full makanan. Setelah dilemparkan makanannya, tak disangka, ternyata si raja monyet ini tetap mengambil makanan tersebut yang dihimpit ketiaknya.Tak pelak, hal ini membuat monyet-monyet kecil lainnya hanya dapat sisa-sisa bagian bahkan ada yang tidak dapat sama sekali. Inilah salah satu contoh dari sifat serakah. Kalau manusia seperti itu, berarti dia sama seperti bedes (monyet dalam bahasa jawa), ujar Kiai kelahiran 22 September 1966 ini.
Jalaludin Rumi
Siapapun pasti mengerti bahwa di dunia ini kita harus mencari kebahagiaan. Namun keberhasilan dalam memperolehnya tidak berarti kita harus mengorbankan kebenaran yang kita anut, bahkan menghalalkan segala cara. Manusia tidak boleh melanggar tapal batas moralitas dan taqwa demi meraih keuntungan material. Biasanya, kecenderungan material timbul dari keserakahan yang tak terkendali.Orang serakah memang tak pernah puas dengan harta dunia, persis seperti api membakar semua bahan bakar yang diberikan. Ketahuilah, lanjut Kiai Marzuki, bila keserakahan telah menguasai diri kita, ia akan mengubah kehidupan sosial kita menjadi medan pertengkaran dan perpecahan sebagai ganti dari keadilan, keamanan, dan kedamaian.
Senada dengan KH Marzuki Mustamar, KH Musthofa Bisri atau yang biasa disapa Gus Mus di berbagai kesempatan juga sering menyampaikan bahwa korupsi bisa membudaya di negeri ini adalah karena baik pemimpin, para pejabat dan masyarakat Indonesia begitu cinta dengan harta duniawi. Dan jika hal itu terus terjadi, dia memprediksi, Indonesia akan rusak seperti bangsa-bangsa terdahulu.
Gus Mus mengungkapkan, andaikan kita semua bisa hidup sederhana, tidak terlalu tamak, serakah, itu cara kita menanggulangi korupsi antara lain dari kita masyarakat dengan merubah perilaku kita terhadap dunia dan materi. Jangan lagi menganggap dunia dan materi itu sebagai sesuatu yang sangat pokok. Meskipun tentu hal tersebut menurut Gus Mus adalah sangat sulit, tetapi harus di usahakan. Kita sendiri harus berusaha juga menghilangkan sebab-sebab awal dari korupsi itu, dengan cara mengurangi rasa keserakahan tersebut. (Muhammad Faishol/Fathoni)
Dari (Nasional) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/71595/kh-marzuki-mustamar-umpamakan-orang-serakah-dengan-bedes
Jalaludin Rumi
EmoticonEmoticon