Senin, 08 Juni 2009

Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan

Oleh Ananta Damarjati

Tidak bisa dipungkiri, perdebatan antara agama dan sains merupakan perdebatan abadi. Kedua entitas tersebut cenderung sulit dipersatukan. Agama memaksa sains agar terikat oleh nilai, sebaliknya, sains menuntut seseorang untuk menelanjangi dirinya dari segala macam bentuk dogma sebelum memasuki gerbang kebenaran objektif yang diidentikan dengannya. Dalam arti lain, sains harus bebas nilai.

Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan (Sumber Gambar : Nu Online)
Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan (Sumber Gambar : Nu Online)


Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan

Premis-premis yang diajukan filsafat barat (filsafat kritis) juga selalu meletakkan dirinya sebagai oposisi biner dari gagasan tentang wahyu agama. Sehubungan dengan itu, Kuntowijoyo dalam bukunya mengutip pendapat Roger Garaudy, bahwa filsafat barat (filsafat kritis) tidak memuaskan, sebab terombang-ambing antara dua kubu idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat barat (filsafat kritis) itu lahir dari pernyataan: Bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Dia (Garaudy) menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: Bagaimana wahyu itu dimungkinkan. (2006:97). Garaudy berpendapat bahwa Filsafat barat sudah membunuh Tuhan dan manusia. Oleh karena itu dia menyarankan supaya umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam (Garaudy, 1982:139-168) dengan mengakui wahyu (2006:98).

Di sini dapat dipahami bahwa filsafat barat menitikberatkan epistemologi pengetahuannya melalui akal. Dan Garaudy seolah menegaskan, bahwa ada sebuah kebenaran hakiki melalui wahyu yang lebih tinggi di atas kebenaran yang diperoleh lewat akal.

Jalaludin Rumi

Wahyu dalam paradigma profetik

Jalaludin Rumi

Hal wahyu menjadi menarik jika diurai dalam konteks sosio-historis peradaban manusia. Di tanah Nusantarakuno (baca; Dipantara) sebelum secara simbolis identik dengan Majapahit, nenek moyang kita sudahmelakukan berbagai kegiatan sembahyang terstruktur dan metodis, atau pola asketis lain.

Bahkan, -menyitir gagasan Emha Ainun Najib- Resi atau ahli pertapaan zaman itu telah mencapai maqam tertinggi sebelum akhirnya selangkah lagi dapat mempertemukan dirinya dengan Tuhan.

Sayangnya, pertemuan itu tidak pernah terjadi jika tanpa informasi (wahyu) langsung dari Tuhan sendiri tentang siapa diri-Nya.Maka diturunkanlah oleh Tuhan secara langsung, informasi-informasi mengenai diri-Nya melalui Nabi dan Rosul-Nya, kemudian wahyu tersebut termanifestasi secara sakral menjadi teks kitab suci.

Syahdan, sejarah dan pergulatan panjang peradaban manusia tidak lantas menjadikan wahyu yang tertuang dalam Al-Quran kita sekarang, lapuk termakan jaman dan usang.Hal tersebut karena, paradigma profetik para Nabi dan Rosul dalam menyampaikan ajaran tauhid sampai saat ini masihdan terus ditularkan oleh para cendekiawan (pelajar, mahasiswa, pemuda)bahkan sejak wafatnya Rosul terakhir di muka bumi, Muhammad SAW 14 abad yang lalu, tidak melunturkan semangat itu.

Berkat semangat profetik yangditeruskan para cendekiawan yang bersentuhan langsung dengan Al-Quran dalam tataran keilmuan itu pula lah, manusia abad ini tetap memiliki kesadaran tentang adanya kesatuan esensial secara asasi antara subjek-objek, yaitu manusia-Tuhan (Hairi, 1994:20), dan kemudian menjadi tradisi besar spiritualitas manusia.

Berkat semangat kenabian dalam menyebar informasi yang terkandung dalam kitab suci pula, manusia secara epistemologis dapat memahami eksistensi Tuhan melalui refleksi pancaran cahaya-Nya terhadap seni, politik, agama dan jagad raya secara keseluruhan.

Aplikasi Kesadaran Profetik dalam Organisasi

Jika menilik lagi konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo dan mengkontekstualisasikannya dengan peran cendekiawan sebagai suksesor dakwah Islam sejak Rasulullah SAW wafat, maka terlihat peran mereka begitu kental dalam menjaga gawang struktur transendental Al-Quran, baik yang berkenaan dengan muamalah ataupun ibadah mahdlah.

Dengan menjaga teksnya, menerapkan ajaran yang terkandung di dalamnya, serta mengukur relevansinya dengan realita, ritme dan progresivitas sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya, seorang cendekiawan telah memenuhi dimensi etika profetik, karena ada tanggungjawab sosial dan kerja transformatif dalam praksisnya.

Seorang cendekiawan muda, Lafran Panepada tahun 1947 yang membuka kesadaran lebih luas tentang paradigma ini, ketika dia mengikutsertakan sejumlah orang untuk ikut bertanggungjawab atas kesadaran profetik dan mengkonsepsinya dalam bentuk organisasi. Mereka menyengajakan diri untuk terlibat dalam sejarah kemanusiaan dengan mengambil porsi besar tanggungjawab sosial dari masyarakat di Indonesia.

Pembentukan organisasi ini agaknya merupakan titik tengah, atau bahkan perkawinan gejala sosial masyarakat (modernitas, sains, sosial-budaya.dll) dengan nilai kebenaran agama. Dalam perpektif sosial profetik Kuntowijoyo, hal ini merupakan metodologi integralistik untuk mencapai peradaban kemanusiaan yang maju, serta upaya memecahkan masalah relasi antara Islam dan dunia modern yang menimbulkan ketegangan baik dengansosial, kebudayaan dan politik.

Gagasan ini bertitik tolak dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan yang bersifat subjektif dalam arti lain menyangkut keyakinan orang per orang. Namun menurut Dawam Rahardjo, ajaran keagamaan itu khususnya di Indonesia, tidak bisa ditolak. Atau harus sedemikian rupa diakomodasi sebagaimana dilakukan oleh penguasa zaman lalu (Contoh; Sultan Agung, Sunan Kalijaga, dsb).

Pendekatan akomodasi dan objektifikasi di atas sangat penting untuk menghindari konflik-konflik yang timbul seperti yang terlihat dalam masyarakat Indonesia sekarang, serta dalam rangka mengharmoniskan hubungan agama dengan politik, seni, filsafat, sosial dan budaya.

Beruntunglah Indonesia memiliki beberapa organisasi kepemudaan yang secara tidak langsung berani mendeklarasikan dirinya sebagaiorganisasi berkesadaran kenabian, lalu ikut andil menyadarkan masyarakatluas, Negara, serta Pemerintah tentang berbagai isu sensitif yang bersentuhan langsung dengan agama.

Namun, jika melihat pergerakan organisasiprofetik kepemudaan sekarang ini, perlukah mempertanyakan lagi perihal konsistensi etika dan kesadaran profetik serta manifestasi kesadaran kenabian dalam menyoal relevansinya terhadap hal-hal yang menjadi objek kajian mereka?

Refleksi Profetisitas Gerakan Kepemudaan

Bagi Kuntowijoyo, menjalankan misi profetik harus mampu menerjemahkan tiga peran, yaitu tentang pentingnya melakukan amar maruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tuminu billah (transendensi). Di sinilah menurut saya, gerakan kepemudaan menjadi mode komunikasi yang bertemu dengan misi dakwah peran kenabian-, yang melahirkan organisasi dengan nilai-nilai profetik.

Secara garis besar, Kuntowijoyo berusaha menjelaskan, bahwa dengan humanisasi, manusia akan mampu menjadi manusia sejati yang menyeru pada kebaikan. Menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai individu, masyarakat dan hamba Tuhan. Sementara liberasi bertujuan memerdekaan manusia dari segala bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan akal budi manusia.

Sedangkan melalui kesadaran transendental, yaitu kesadaran lillah, billah, lirrasul, birrasul, secara langsung berdampak pada meningkatnya iman. Sehingga manusia akan mampu melakukan tugas humanisasi dan liberasi secara utuh.

Langkah Lafran Pane menginstitusionalisasi kesadaran profetiknya (yang kemudian diikuti sebagian besar organisasi lain), secara manifestasi adalah mengikutsertakan sejumlah orang untuk ikut bertanggung jawab atas pengkonstruksian dunianya, karena merekalah yang berkesadaran turut membentuk dunia tersebut. Mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat mencoba memahami dunia yang sebenarnya mereka bentuk sendiri.

Faktanya, organisasi kepemudaan yang mengusung napas agama telah mampu menjadi mesin yang mengonstruksi dunia sosial di sekitarnya. Atau memang telah didesain secara struktural untuk menyediakan calon pemimpin berkelas secara individu. Yang jelas, konstruksi sosial, kebudayaan sampai politik tidak pernah lepas dari pergerakan organisasi kepemudaan sejak awal keberadaannya di Indonesia.

Namun seiring dengan semakin tingginya posisi tawar, eksistensi dan aktualisasi diripada organisasi kepemudaan terhadap segala sendi sosial, politik dan kebudayaan kemasyarakatan kita, tidak bisa tidak, akan selalu ada potensi-potensi penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di satu sisi saya percaya, bahwa oganisasi kepemudaan dimanapun tidak pernah ditatar untuk melakukan KKN, baik personal, institusional maupun struktural.Tapi disisi lain, jika dilihat dari gejala sosialnya secara historis, memang nyatanya banyak anak kandung organisasi profetikitu yang tersandung kasus KKN.Tidak etis jika hal ini dipungkiri, karena hal itu adalah salah satu naluri personal dan institusional.

Atau boleh dikatakan, sayap kecenderungan secara politik-kebudayaan (KKN) tersebut serta merta muncul bersamaan ketika mereka sedang memperjuangkan humanisasi dan liberasi, dan dalam waktu yang bersamaan melupakan wacana transendensi.

Namun yang tak kalah penting, tidak sedikit pula anak kandung organisasi profetik yang mampu menerjemahkan misi transendental ketika mengidentifikasi dirinya dengan batasan-batasan, arah serta tujuan yang telah secara tegas ditatar oleh organisasinya. Anak kandung yang tidak lupa untuk senantiasa lillah, billah, lirrasul, birrasul, dalam hal apa pun.

Termasuk ketika sedang melakukan transaksi politis dengan manusia lain yang sarat kepentingan, bahkan murni seratuspersen kepentingan. Tak jarang kepentingan tersebut menyamar sebagai ideologi, eksplisit maupun implisit. Yang tak jarang pula dalam transaksi tersebut memaksa pelakunya untuk berlaku kejam.

Sejauh ini yang saya pahami dari konsep-konsep Kuntowijoyo, bahwa praksis transendental tidak hanya mampu menyerap dan mengekspresikan secara dialektis sebuah realita, tapi juga memberi arah bagi realita tersebut, serta melakukan penilaian dan kritik sosial budaya secara beradab. Sekaligus menjadi petunjuk ke arah humanisasi dan liberasi.

Organisasi profetik kepemudaan yang sudah menentukan bahwa batasan, arah dan tujuannya adalah sesuai dengan Al-Quran, seharusnya menurut Kuntowijoyo- menjadikan Al-Quran pula sebagai cara berfikir. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmupengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal dalam arti sesuaidengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam, yaitu mengaktualisasikan misinya menjadi khalifah di bumi.

Maka sangat urgen, bagi setiap organisasi yang berkesadaran kenabian untuk mempertanyakan ulang misi transendensinya. Jangan sampai, dapur organisasi yang memasak dengan serius kader-kadernya, menjadi tidak berarti ketika terpajang di etalase kepemimpinan, karena telah tercemar polusi kepentingan, serta dipencloki laler kekuasaan. Sehingga lupa arah, batasan, dan tujuan dunianya, serta menjadikan pribadinya untuk cenderung bebas nilai.

Ketika hal tersebut terjadi, kita patut bertanya: Quo Vadis profetisitas organisasi kepemudaan? Quo Vadis cendekia muda, pelajar, mahasiswa, Nabi kolektif bagi masyarakat?

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri; anggota aktif Lingkar Studi Matakuhati Semarang.

Dari (Opini) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/70269/menakar-kesadaran-profetik-gerakan-kepemudaan

Jalaludin Rumi

Syekh Jalaludin Rumi adalah seorang Sufi dan pemikir hebat, kami adalah pecinta Syech Jalaluddin Ar-Rumy..


EmoticonEmoticon

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Jalaludin Rumi sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Jalaludin Rumi. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Jalaludin Rumi dengan nyaman.


Nonaktifkan Adblock