Senin, 31 Desember 2007

Ahmad Baso: Biarkan NU Membangun Citra Atas Dirinya Sendiri

Jakarta, Jalaludin Rumi. Sepanjang sejarah kolonial, masyarakat yang sekarang dikenal identitasnya oleh dunia sebagai bangsa Indonesia selalu ditempatkan sebagai obyek yang indah, untuk diteliti, dipandang dan dibentuk. Sikap-sikap kaum orientalis selalu mengarah kepada konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya timur sebagai sesuatu yang asing. Meski berbeda dengan rasialisme yang lebih tampak brutal, orientalisme para penjajah itu lebih cocok dipahami sebagai wacana yang dibuat secara sadar untuk menunjukkan perbedaan mendasar antara kami orang barat dan mereka orang timur.

Demikian kata pembuka diskusi yang diulas intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Ahmad Baso, Selasa (11/1) di ruang redaksi Jalaludin Rumi.

Dalam diskusi kebudayaan yang diselenggarakan anak muda NU di meja redaksi Jalaludin Rumi itu, Ahmad Baso mengingatkan, bahwa NU bila dikaji melalui studi pasca kolonial, tampak diperlakukan demikian. Konstruksi historis kaum orientalis yang mengendap dalam cara pandang sebagian besar sarjana-sarjana asing maupun lokal yang mengalami proses konstruksi diskursif akan memperlakukan NU sebagai obyek yang indah, atau sejenis makhluk asing.

Saya adalah bagian dari kultur di mana NU pasca-kolonial ditandai adanya difference atau pembeda antara apa yang disebut dengan tradisi dan modernitas. Seperti halnya difference yang dianalisa Edward Said tentang Barat dan Timur. Situasi pembeda bukan hanya sesuatu yang berbeda, tetapi juga sesuatu yang (sengaja) dibuat berbeda. Ada relasi kuasa yang berupa dominasi kultural atau hegemoni yang membuat perbedaan itu dipelihara dan dirawat sebaik-baiknya. Tradisi misalnya dianggap sebagai obyek di mana modernitas menuliskan sejarahnya sejarah yang membuatnya maju dan progresif, papar intelektual muda NU yang akrab dipanggil Baso.

Ahmad Baso: Biarkan NU Membangun Citra Atas Dirinya Sendiri (Sumber Gambar : Nu Online)
Ahmad Baso: Biarkan NU Membangun Citra Atas Dirinya Sendiri (Sumber Gambar : Nu Online)


Ahmad Baso: Biarkan NU Membangun Citra Atas Dirinya Sendiri

Lebih jauh, Baso mengungkapkan konstruksi kaum orientalis dalam membentuk pencitraan tentang NU yang tradisionalis atau konservatif. Saya misalnya dibaca sebagai anak muda NU yang ternyata bisa menulis buku, anak muda yang punya stamina, seorang anak muda yang jarang ditemukan di kalangan generasi muda NU lainnya atau anak muda yang sudah melampaui tradisinya padahal tidak dibaca di manapun dan pada kelompok manapun bahwa jarang ada kalangan mudanya yang bisa menulis buku serius, kata Baso yang memaparkan contoh bila ada anak cerdas dan pandai di NU, kalangan modernis akan menganggapnya sebagai kasus yang ditemukan di NU.

Seperti gayung bersambut, contoh tentang bagaimana buruknya kaum orientalis atau modernis mengonstruksi citra NU ditanggapi beberapa peserta diskusi pada hari itu. Adnan Anwar, peneliti dari LP3ES itu juga merasa heran mengenai begitu buruknya kaum modernis mencitrakan NU. Saya baru saja melakukan riset di Lombok NTB, yang berkaitan dengan data-data sejarah NU dalam percaturan politik. Ternyata pada tahun 1950-an, ketika dewan perwakilan rakyat (DPR) sedang reses, Ketua Tanfidziyah NU KH Idham Chalid mengeluarkan surat pemberitahuan ke seluruh wilayah, cabang, hingga ke ranting-ranting NU, bahwa DPR sedang reses, anggota-anggota DPR RI dari NU sedang pulang ke daerah-daerah, tolong mintai pertanggungjawaban, apakah dia sudah menyalurkan aspirasi masyarakat di daerah saudara-saudara, atau belum, kata Adnan menirukan bunyi surat resmi yang ditulis ketua umum NU waktu itu.

Bukankah NU pada waktu itu sudah sangat memenuhi kaidah-kaidah sebagai partai yang modern, karena sudah memiliki mekanisme baku dalam membangun relasi antara anggota Dewan, dan partai dengan masyarakat pemilihnya, tetapi lagi-lagi itu tidak mengubah orang-orang yang merasa paling modern untuk mencitrakan NU sebagai masyarakat yang sudah melampaui tradisinya, dan lagi-lagi NU tetap dinilai sebagai kolot, kuno, atau tradisional, tandas Adnan.

Jalaludin Rumi

Masih soal bagaimana kuatnya kaum orientalis melakukan dominasi kultural dengan memelihara dan merawat sebaik-baiknya dirinya sebagai yang modern dan NU sebagai yang tradisional. Baso mengambil contoh paling dekat, yaitu saat Muktamar NU ke-31 di Boyolali. Jaringan Islam Liberal (JIL) selalu menganggap tradisi sebagai bermasalah, seperti pernah ditulis Ulil Abshor Abdalla pasca Muktamar NU ke-31, bahwa penolakan peserta muktamar terhadap hermeneutika dianggap sebagai pergeseran NU dari kritis menjadi kanan,katanya.

Penolakan itu oleh JIL tidak pernah dibaca sebagai wacana tandingan, bagaimana NU mencitrakan dirinya, bukan untuk menerima apa saja yang ditawarkan orientalisme hanya untuk bisa disebut modern atau kritis sebagai obyek konstruksi historis. Justeru dalam muktamar baru baru ini sebenarnya NU menawarkan pendekatan dalam pengambilan keputusan hukum yang diyakini lebih baik, lanjut Baso.

Dalam kaitan dengan penolakan

Jalaludin Rumi

Dari (Warta) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/2621/ahmad-baso-biarkan-nu-membangun-citra-atas-dirinya-sendiri

Jalaludin Rumi

Syekh Jalaludin Rumi adalah seorang Sufi dan pemikir hebat, kami adalah pecinta Syech Jalaluddin Ar-Rumy..


EmoticonEmoticon

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Jalaludin Rumi sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Jalaludin Rumi. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Jalaludin Rumi dengan nyaman.


Nonaktifkan Adblock